Fitnah dalam bahasa Arab, bukan dalam pengertian Indonesia,
pertama-tama berarti ‘cobaan’ atau ‘ujian’. Tetapi kata tersebut juga
sering bermakna hal-hal yang menggoda, mengganggu, membuat gara-gara
atau mendorong orang berbuat tidak baik (provokasi). Dalam ideology atau
kebudayaan patriarkhi, fitnah sering dihubungkan kepada perempuan.
Bahkan acapkali dikatakan “perempuan adalah sumber fitnah”. Istilah lain
yang kemudian populer adalah “Perempuan adalah makhluk Penggoda”. Oleh
karena alasan ini manusia jenis kelamin ini oleh banyak kebudayaan
patriarkhi harus dikurung di dalam rumahnya tidak boleh keluar malam,
tubuhnya harus ditutup rapat, relasinya dengan laki-laki dibatasi dengan
sangat ketat dan diawasi. Jika hendak pergi jauh harus ditemani
keluarganya (mahram), dan seterusnya. Jika terjadi pelecehan, pencabulan
atau perkosaan terhadap mereka, maka mereka (perempuan) bukannya
dibela, tetapi justeru seringkali dipandang sebagai pihak yang salah.
“Dia salah, karena membuat laki-laki terangsang”, begitu sering
dikatakan banyak orang. Mereka menjadi korban berlapis; korban
dilecehkan/dicabuli/diperkosa. Jarang sekali masyarakat menyalahkan
pihak pelaku yang laki-laki itu, meskipun dia jelas-jelas pelaku
kekerassan atau kejahatan tersebut. Sebaliknya, tak ada orang yang
menyalahkan laki-laki yang memperlihatkan tubuh atletisnya atau pahanya
yang kekar yang boleh jadi membuat perempuan terangsang berat. Aneh dan
memang tidak masuk akal.Dan betapa tidak adilnya struktur sosial itu.
Sesungguhnya sumber fitnah juga bisa dari pihak laki-laki. Sebuah cerita menarik pernah terjadi pada zaman ‘Umar bin Khatthâb, Khalifah al-Rasyidun kedua. Ini ditulis seorang sastrawan klasik terkemuka : Abu Utsman Amr al-Jahizh dalam bukunya : “Rasail al-Jahizh”.
Suatu hari ‘Umar keliling kampung (Blusukan) di Madinah. Tiba-tiba ia mendengar seorang perempuan sedang bersenandung nyanyian puitis:
‘Utsman bin Abî al-‘Ash al-Tsâqafî, Gubernur Persia, kemudian mengirim surat kepada Khalifah ‘Umar bin Khatthâb di Madinah. ‘Umar membalas suratnya dengan mengatakan agar menggundulinya dan menetap di masjid. Ketika ‘Umar mati terbunuh oleh Abu Lu’lu’ah, Nasr kembali lagi ke Madinah sampai meninggal di kota Nabi itu. (Baca : Rasâil al-Jâhizh II/64, al-A’lâm, VIII/22).[]
Sesungguhnya sumber fitnah juga bisa dari pihak laki-laki. Sebuah cerita menarik pernah terjadi pada zaman ‘Umar bin Khatthâb, Khalifah al-Rasyidun kedua. Ini ditulis seorang sastrawan klasik terkemuka : Abu Utsman Amr al-Jahizh dalam bukunya : “Rasail al-Jahizh”.
Suatu hari ‘Umar keliling kampung (Blusukan) di Madinah. Tiba-tiba ia mendengar seorang perempuan sedang bersenandung nyanyian puitis:
هل من سبيل إلى الخمر فأشربها أو هل من سبيل إلى نصر بن الحجاج.
Adakah jalan menuju rumah Wishky
Biar aku dapat meminumnya.
Adakah jalan menuju Nashr bin Hajjaj
(Biar aku dapat menatapnya).
Rupanya perempuan yang bersenandung melankoli itu sedang merindukan
laki-laki tampan bernama Nashr bi Hajjaj. ‘Umar segera memanggil Nashr.
Ketika ia tiba dihadapannya, ‘Umar melihat seorang pemuda tampan dengan
rambutnya yang hitam, ikal dan memikat. Sorot mata birunya begitu tajam.
Jika mata perempuan bertemu mata Nashr, dada perempuan itu
bergetar-getar dan malam-malamnya tak bisa tidur. Dia membayangkan
keindahan-keindahan bersamanya, apalagi dalam dekapannya. Umar kemudian
menyuruhnya mencukur gundul rambutnya. Ia berharap dengan cara itu
wajahnya tak lagi tampak tampan dan menggoda. Tetapi begitu selesai
dicukur habis, ‘Umar, melihat masih ada sisa-sisa ketampanan wajahnya.
Akhirnya ‘Umar mengisolasinya ke Basrah, Irak, dan membiarkannya hidup
sampai tua. Tetapi di negeri ini banyak perempuan juga tergila-gila
padanya. Abû Mûsa al-Asy’arî, sang Gubernur lalu segera melakukan
tindakan yang sama dengan Umar. Ia mengusirnya ke Persia. Dan di negeri
ini ia tetap saja digandrungi para perempuan. Mereka sering berteriak
histeris jika Nashr lewat di depan mereka. Boleh jadi mereka mengatakan “
Ih, gila banget!, wouw!. Atau mencoba menegurnya : “Eh cowok ganteng,
godain aku dong”. He he he.Biar aku dapat meminumnya.
Adakah jalan menuju Nashr bin Hajjaj
(Biar aku dapat menatapnya).
‘Utsman bin Abî al-‘Ash al-Tsâqafî, Gubernur Persia, kemudian mengirim surat kepada Khalifah ‘Umar bin Khatthâb di Madinah. ‘Umar membalas suratnya dengan mengatakan agar menggundulinya dan menetap di masjid. Ketika ‘Umar mati terbunuh oleh Abu Lu’lu’ah, Nasr kembali lagi ke Madinah sampai meninggal di kota Nabi itu. (Baca : Rasâil al-Jâhizh II/64, al-A’lâm, VIII/22).[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar