Tim Journal Ijaz Arabi PBA Uin Malang |
KONON di zaman Jahiliyah, ketika sastra lisan mendominasi kehidupan di Arab, penyair merupakan tokoh masyarakat yang sangat disegani, bahkan ditakuti. Barang siapa tidak disenangi –apalagi berani melawan- penyair, dia bisa kena dalam syair-syairnya. Dan sebentar kemudian seluruh negeri pun, tanpa ampun akan “menyanyikan” kecaman itu. Sebaliknya, barang siapa disenangi –kemudian di-madah, dipuja-puji dalam syair- oleh penyair, sebentar saja seluruh negeri pun akan menyenandungkan pujian itu. Itulah sebabnya, Imri-il Qais, misalnya, penyair urakan yang kesohor di zaman itu, meski tidak disenangi karena kelakuannya, tetap saja disegani dan diperlakukan –walau hanya basa-basi- dengan manis, termasuk oleh gadis-gadis yang sebenarnya jengkel karena sering digodanya.
Saya sering berfikir “kedudukan”
wartawan, atau barangkali tepatnya pers, dewasa ini kayaknya kok persis
atau miriplah dengan penyair zaman Jahiliyah tempo doele. Paling tidak
ada semacam “kehati-hatian” masyarakat masa kini apabila menghadapi
wartawan atau insan pers. Sebab kalau tidak hati-hati, salah- salah bisa
–kalau dulu di-hijaa penyair, sekarang- dikorankan. Dan seluruh negeri
pun akan menggunjingnya. Demikian pula, kalau nasib anda baik,
salah-salah –karena sentuhan pers- anda akan menjadi sanjungan seluruh
negeri.
Mereka yang sering disebut-sebut
termasuk public figure, apakah dari kalangan artis, kiai, cendekiawan,
pejabat, atau yang lain, sebenarnya pun ketenaran mereka bermula dari
–dan dibangun oleh- andil besar pers. Seseorang boleh mengaku atau diaku
tokoh, tapi tanpa campur tangan pers, siapa yang akan mengenalnya
sebagai tokoh?
Tanyalah sekarang ini, misalnya
di Indonesia ini, siapakah aktor paling hebat? Siapakah cendekiawan
paling piawai? Siapakah kiai paling alim? Siapakah pejabat paling
jempolan? Siapakah penyair paling ulung? Siapakah pembaru paling baru?
Tanyalah kepada orang terpelajar manapun, insya Allah anda akan
mendapatkan jawaban nama-nama yang persis pernah diddiktekan oleh pers.
Padahal
kalau agak lebih cermat kita berfikir, kecuali mengenai aktor dan
pejabat yang jumlahnya terbatas, sewajarnyalah kita bertanya-tanya,
benarkan yang “didiktekan” pers itu? Misalnya khusus tentang kiai paling
alim itu; kita tahu di kita ada ribuan kiai dan ada ratusan diantaranya
yang –bila menggunakan “ukuran standar” , Al Quran,- seribu kali lebih
alimdan lebih mulia dari pada semua nama kiai yang dikenal dan
dikenalkan –atau diterkenalkan- oleh pers selama ini. Tidak percaya
silahkan datang ke daerah-daerah dan bukalah Al Quran!
Tetapi apa mau dikata itu lah pers. Itulah opini yang “diciptakannya”.
Begitulah;
siapa saja –khususnya dari kalangan pemilik kepentingan- yang memahami
dan menyadari kekuatan pers ini, rasanya tidak ada yang tidak tergiur
untuk memanfaatkannya. Mulai dari pihak yang ingin mengajak membangun
negara sampai yang sekedar ingin menutupi selingkuhnya terhadap negara;
mulai dari pihak yang ingin mengalahkan lawan politik sampai yang
sekedar ingin mempopulerkan diri; semuanya bisa menggunakan jasa pers.
Dan saya pikir, pemerintahlah yang paling paham dan menyadari kekuatan
pers ini, tentunya selain pihak pers sendiri.
Kearifan
klise biasanya menamsilkan kekuatan dengan pedang atau senjata. Senjata
di tangan yang benar, bisa menjaga dan melindungi; sebaliknya, di
tangan yang salah, bisa merusak dan menghancurkan. Dimikianlah pula
kekuatan pers. Kita bisa dan telah menyaksikan hal-hal positif bagi
kehidupan bangsa dan negara yang merupakan sumbangan konkret dari pers
kita. Namun disamping itu, kita pun tidak bisa menutup mata terhadap
hal-hal negatif yang timbul akibat kelalaian pihak pers; seperti
misalnya, kebingungan dan bahkan keresahan masyarakat yang disebabkan
oleh pemutarbalikan fakta; pengeksposan berita-berita sensasional yang
tidak jelas manfaatnya bagi kepentingan umu; pemberitaan-pemberitaan
tendensius yang hanya memuaskan pihak-pihak tertentu, dan masih banyak
lagi.
Bagi mereka yang sudah terlanjur menjadi
public figure atas jasa pers, kiranya perlu lebih waspada. Satu dan lain
hal karena merekah biasanya yang menjadi incaran pertama insan-insan
pers dan atau kemudian –sorotan masyarakat. Remeh-temeh mereka bisa
menjadi hal penting. Gurauan mereka bisa menjadi serius. Main-main
mereka bisa menjadi sungguhan. Perilaku mereka diamati. Pernyataan
mereka dicatat. Bahkan omong kosong mereka bisa dianggap fatwa.
Saya
memperoleh kesan –mudah-mudahan tidak benar- akhir-akhir ini mereka
–para public figure itu (apakah dari kalangan pejabat, artis, kiai,
cendekiawan, budayawan, atau lainnya)- seolah-olah tidak menyadari –atau
sengaja pura-pura tidak tahu- betapa, gara-gara pers, mereka telah
menjadi makhluk-makhluk yang sangat diperhatikan.
Terkesan
umumnya mereka ngomong seenaknya (mungkin mengandalkan gampangnya
mereka meralat); termasuk ketika menjawab pertanyaan-pertanyaan kegamaan
dan kenegaraan yang oleh masyarakat dianggap penting bahkan gawat.
Sehingga sering kali sulit dibedakan mana mereka yang pintar dan mana
yang bloon. Apalagi sepertinya telah menjadi tren, begitu seseorang
telah dinobatkan sebagai public figure, lalu merasa diri segalanya dan
tahu segalanya. Tiba-tiba artis bicara dan berlagak seperti kiai; kiai
berbicara dan berlagak seperti pejabat, pejabat bicara dan berlagak
seperti pelawak; pelawak bicara dan berlagak sepeti cendekiawan;
cendekiawan bicara dan berlagak seperti artis; atau sebaliknya.
Nah,
kalau apa yang saya katakan masuk akal dan tidak berlebih-lebihan,
yaitu bahwa pers begitu penting posisi dan perannya maka sudah
sewajarnyalah apabila kita mengharap dari kalangan pers –lebih dari yang
lain- untuk meningkatkan keakraban mereka dengan nurani-nurani mereka
dan mengintensifkan dialog mereka dengan diri-diri mereka sendiri. Tak
lebih dari itu. Kita percaya, tentang kode etik dan pers yang berbudaya;
tentang keberanian dan kejujuran; tentang integritas dan tanggung
jawab; mereka jauh lebih memahami dan mengerti. (Jendral)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar