KONTESTASI MORAL DI ERA PANDEMI
“Di sini” begitu sabda Rasulullah saw. dalam haditsnya sembari menuntun telunjuknya mengarah ke dadanya yang agung. Hadits ini menyorot suatu momentum di mana akhlak sahabat masih diragukan kepastiannya, seakan menjadi momok baginya bahkan mengancam kesuksesannya dalam menyampaikan risalah akhlak kepada manusia, khususnya umat muslim di seluruh dunia. Maka, tak menutup kemungkinan, jika kualitas akhlak manusia di kala itu perlu dipertanyakan keberadaannya. Demikian di zaman Rasulullah, lantas bagaimana implikasi moral saat ini?
Di era modernisasi ini, potensi moral untuk merosot sangatlah mungkin terjadi. Pasalnya, budaya bertata krama yang selalu diintegrasikan dengan pengetahuan semakin hari semakin tergerus. Bahkan perkembangan pengetahuan selalu lebih pesat dari pada perkembangan moral. Hal ini merupakan pemicu dari ketergantungan manusia terhadap akal sehingga menjadikan moral sebagai pertimbangan kedua dan meminimalisir intensitasnya untuk berkecipung di kehidupan modern. Maka, sangat dipandang perlu kebijakan-kebijakan pendidikan untuk memoralitaskan para pelajar dengan mengintegrasikan agama dan pengetahuan sebagai dua pilar yang tak bisa dipisahkan.
Berbicara tentang moral di era pandemi, memungkinkan untuk melibatkan kebijakan-kebijakan pemerintah Indonesia terkait penangan Covid-19. Kebijakan-kebijakan ini merupakan sudut pandang sementara masyarakat terhadap etika hukum yang sedang berlangsung. Sebab, kebijakan tersebut mengajak masyarakat untuk berbuat sebagaimana yang diputuskan dan mengimplementasikan kebijakannya tanpa perlu adanya instruksi demokrasi. Konsep sedemikian ini merupakan konsep yang mengunggulkan praktik ilmiah tanpa melibatkan kekuatan moralitas dengan mengatasnamakan undang-undang. Aturan lockdown misalnya, diberlakukan dengan sedemikian rupa tanpa mempertimbangkan keadaan ekonomi. Hal ini mungkin sah-sah saja untuk ditetapkan namun pengetahuan seputar dampak dari virus Covid-19 seharusnya disebarluaskan ke berbagai kalangan agar latar belakang penetapannya lebih dapat diterima. Karena jika penetapannya tidak jelas arah tujuannya, maka memungkinkan untuk terjadi pemberontakan secara agresif dan terjadi konflik internal yang jauh lebih sulit untuk diatasi.
Bukan hanya tentang kebijakannya, sistem pendidikan di indonesia juga mengundang kontroversi. Nahkoda berkacamata yang baru memimpin pendidikan memberikan perubahan besar dengan mengubah beberapa kebijakannya. Alih-alih memajukan pendidikan, nyatanya asumsinya hanya sebatas angan semata. Berspektif setinggi angkasa, implikasinya sebatas bahasa. Jauh dari kata sejahtera, ikanpun di paksa menaiki tangga tanpa harus berpikir seberapa tahan ikan-ikan berada di udara. Sebagai pimpinan ojek online sebelumnya, ternyata pendidikan bukan sekedar penumpang dan sopirnya. Teknologi semakin dikembangkan, bully antar sesama masih jadi makanan ringan. Inikah evolusi? Bukankah hanya tangan-tangan kosong yang bertahta. Begitulah nasib Indonesia saat ini.
Disaat yang sama, influencer berhidung kaca menyamar dewi pertiwi. Perkarakan satu kata, katanya potensi agresi. Gelagatnya luruskan budaya, malah ributkan satu negeri. Hingga masyarakat kembali melantangkan suara moralisme. Merekam jenaka kritis sambil tertawa. “Dahulukan agresi moral bukan anjay” kata mereka. Mengepal tangan-tangan tak berdaya menjadi kuasa. Bingarkan seluruh kekuatan atas nama moral bangsa. Hingga tak satupun telinga mereka mendengar kecuali teriakan anak muda. ANJAAAAYYYY.
Maka, sebagai bagian dari norma berbangsa dan bernegara, Moral justru perlu dijadikan sebagai pertimbangan utama. Menilik beberapa kasus pasca wacana. Mengurai probibalitas sebelum rencana hingga menerapkannya sebagai investasi hukum dan produk budaya. SALAM MAHASISWA.
Keren pengandaian nya👍👍
BalasHapus