Islam Wasathiyyah dalam Sudut Pandang 3 Ulama Nusantara: Prof. Quraish Shihab, Gus Mus, dan KH. Said Aqil Siroj


 


Alvian Izzul Fikri

Akhir-akhir ini istilah ‘Islam Wasathiyyah’ sedang ramai diperbincangkan publik, terlebih semenjak muncul kelompok-kelompok radikal-ekstremis di tengah-tengah masyarakat yang melakukan teror atas nama ‘mengembalikan Islam ke al-Qur’an dan Hadits’. Paham radikal tersebut tentu tidak dapat kita benarkan, sekalipun mengatasnamakan diri bagian dari ajaran ‘Islam’. Sebab, hakikat pemahaman kelompok tersebut adalah mementingkan ‘paham mereka sendiri’ dan tidak mendasarinya dengan ilmu. Untuk itu, para ulama Nusantara bersikeras mengedukasi masyarakat Indonesia dengan menghadirkan paham Islam yang moderat atau kemudian diistilahkan sebagai ‘Islam Wasathiyyah’. Akan tetapi istilah Islam Wasathiyyah itu seringkali gagal dipahami oleh sebagian kalangan sebagai Islam yang ‘lembek’, ‘terlalu kompromistik’ dan ‘tidak tegas’. 

 Guna menghindari paham yang salah ini, penting bagi kita untuk memahami akar dan makna dari istilah Islam Wasathiyyah itu sendiri. Dan pada kesempatan kali ini penulis akan mencoba memaparkannya dalam prespektif  3 ulama besar Nusantara.


Prof. Quraish Shihab dan Islam Wasathiyyah

Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab, pakar tafsir al-Qur’an kenamaan menaruh perhatian khusus dalam kajian tentang moderasi dalam Islam. Hal itu sebagaimana beliau tuangkan dalam bukunya yang berjudul “Wasathiyah: Wawasan Islam tentang Moderasi Beragama”. Dalam buku tersebut beliau menjelaskan tentang pentingnya ‘moderasi’ mulai dari segi makna, tujuan, bagaimana menerapkan serta mewujudkannya. Bagi beliau, ‘moderasi agama’ itu bukan sekedar urusan atau kepentingan orang-orang tertentu, melainkan juga urusan dan kepentingan setiap kelompok dan negara. Karenanya penerapan ‘moderasi agama’ dalam seluruh lini kehidupan bukan sekadar kepentingan ‘umat muslim’ tapi juga ‘seluruh umat manusia’ karena menyangkut hajat hidup umat secara keseluruhan tanpa memandang agama, etnis, ras, dan suku.

Dalam pandangan Prof. Quraish Shihab, moderasi Islam itu sendiri hanya dapat dicapai dengan 3 kunci, yaitu dengan ilmu pengetahuan, kebijakan dan keseimbangan. Pertama, dengan adanya pemahaman dan pengetahuan yang baik dan benar akan ajaran Islam, maka ‘wasathiyah’ itu dapat diterapkan dengan baik dan benar pula. Kedua, kebijakan yaitu dengan ‘pengendalian emosi’ sehingga keadaan bisa terkendalikan dengan baik serta terwujudnya sikap adil dalam ‘wasathiyah’. Terakhir, keseimbangan yaitu dengan kewaspadaan dan kehati-hatian dalam melihat, membaca serta menetapkan sesuatu agar tidak sampai keluar dari prinsip dasar islam. Dengan adanya moderasi agama (wasathiyah) itu,menjadikan ajaran islam tetap terpelihara kemurniannya, dan menjadi rahmatan lil’alamin.


Prof. Dr. KH. Said Aqil Siradj, M.A

Pada suatu kesempatan, KH. Said Aqil Siradj pernah ditanya dalam sebuah acara di televisi nasional tentang moderasi beragama dalam Islam. Seorang pemandu acara televisi nasional itu bertanya, “Kenapa kita harus moderat? karena moderasi itu sendiri adalah prinsip Al-Quran” jawab KH. Said Aqil Siradj. Beliau lantas melanjutkannya dengan membahas tentang “ummatan wasaathan” yaitu sebuah konsep di mana Allah menjadikan umat nabi Muhammad sebagai  umat yang moderat agar supaya umat muslim selalu berperan di tengah-tengah kehidupan beragama, berbudaya, dan bernegara.

Dalam pandangangan KH. Said Aqil Siradj, moderat adalah ‘prinsip Islam’, di mana moderat adalah gabungan dari teks (yaitu Al-Quran dan Hadist) dan akal (Ulama). Akal itu sendiri dibagi menjadi dua yaitu, ijma’ (kolektif) konsensus dan qiyas (individual) analogi. Jikalau hanya memakai teks saja dalam membaca suatu keadaan maka akan menjadi radikal, ekstrim, dan dangkal. Begitupun jika sekadar menggunakan akal saja dalam membaca sebuah kejadian maka akan menjadi liberal. Karenanya dibutuhkan ‘keseimbangan’ antara pembacaan teks dan penalaran akal.


KH. Ahmad Mustofa Bisri

KH. Ahmad Mustofa Bisri atau yang lebih akrab kita kenal dengan Gus Mus dan merupakan sahabat karib Gus Dur, pernah pula mengutarakan pendapatnya tentang islam wasathiyah. Dalam pandangan beliau ‘moderat’ itulah Islam, kalau tidak moderat maka bukanlah Islam. Maka jangan katakan ada Islam moderat, Islam ekstrimis akan tetapi yang ada hanyalah Islam itu sendiri. Beliau juga kerapkali mengingatkan agar kita tidak mudah mengukur suatu perkara dengan kadar pemikiran diri sendiri, akan tetapi pakailah ukuran yang sudah ditetapkan yaitu Al-Quran dan Sunnah.

Bagi Gus Mus, “Khoiru umuuri awsaatuha” sebaik-baik perkara adalah yang pertengahan, semua yang berlebih, ‘ghulu’ itu dilarang oleh agama, baik itu dalam perkara yang baik sekalipun. Maka “wasathiyah” itu adalah ketika engkau berlaku adil dalam membaca sebuah keadaan, dan tidak menjadikan kebencianmu terhadap sesuatu itu menjadikanmu tidak adil.

Dari tiga keterangan ulama sentral umat muslim Indonesia ini, kita dapat mengerti bahwa yang dimaksud ‘Islam Wasathiyyah’ bukanlah sebuah prinsip beragama yang tidak berlandaskan ilmu atau ‘asal-asalan’. Justru ‘Islam Wasathiyyah’ dapat diterapkan ketika orang tersebut telah matang ilmu dan emosional, sehingga dapat berlaku adil dan moderat terhadap individu maupun kelompok lain di luar dirinya. Pengamalan Islam Wasathiyyah dalam setiap lini kehidupan juga bukanlah hal baru, sebab Islam Wasathiyyah adalah Islam itu sendiri. Wallahua’lam bish-showab 

2 komentar: