REPRESENTASI SEORANG IBU SEBAGAI FIGUR UTAMA MADRASAH PERTAMA


Madrasah merupakan sebutan khusus yang disematkan pada lembaga pendidikan di Indonesia yang bernuansa islami. Selama ini, eksistensi pendidikan berbasis Madrasah ini tidak lepas dari kontribusi Kementerian Agama yang begitu besar melalui kebijakan-kebijakan yang sangat menentukan keberhasilan regulasi pendidikan Islam. Buktinya, Kurikulum Madrasah yang tertuang dalam Keputusan Menteri Agama Nomor 184 Tahun 2019 telah mengimplementasikan langkah awal pendidikan Madrasah yang reformatif dalam merepresentasikan Madrasah Hebat Bermartabat. Sinergitas lembaga madrasah ini tentunya dimulai dari tingkatan dasar struktural Raudlatul Athfal (RA), Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah (MA). Eksistensi Madrasah sebagai Lembaga Pendidikan Islam kini mulai diakui dengan adanya prestasi-prestasi yang ditorehkan dalam berbagai kompetisi dalam bingkai “Fastabiqul Khoirot” atau berkompetisi dalam kebaikan yang positif dan bermanfaat. Tentunya tidak mengherankan bagi kita, saat ini telah bermunculan berbagai inovasi madrasah dalam berbagai bidang. Disamping Madrasah sebagai Ikon Pendidikan Islam, kini Madrasah kian bertransformasi menjadi Madrasah Riset, Madrasah Literasi, Madrasah Enterpreneur, hingga Madrasah berbasis Ma’had atau sejenis Pondok Pesantren Modern. Namun di samping fakta tersebut, terdapat madrasah pertama yang namanya telah begitu eksis terlebih dahulu, bahkan jauh sebelum kata “Madrasah” digunakan sebagai identitas sebuah lembaga pendidikan resmi di Indonesia. Madrasah Pertama ini tidak lain dan tidak bukan ialah seorang Ibu. Ibu menjadi sebutan bagi seorang wanita yang memiliki, melahirkan, mengasuh, mendidik, dan membesarkan seorang anak, serta berjasa dalam menanamkan karakter positif pada seorang anak sedari dini. Tumbuh kembang seorang anak beserta kesuksesannya kelak sangat bergantung pada didikan seorang ibu, sehingga sudah selayaknya para ibu menjadi madrasah pertama bagi anak-anaknya. Secara Harfiah, Al-Qur’an menyebutkan frase Ibu dalam kata “Umm” yang berakar dari kata “Ummat” yang berarti “Pemimpin”. Ibu sebagai pemimpin sudah sepatutnya memberikan teladan bagi anak-anaknya dalam rangka upaya pembinaan generasi muda penerus bangsa yang bermoral positif dan berakhlakul karimah. Peranan ini telah digariskan oleh Nabi Muhammad Saw dalam perumpamaan “An-Nisaa’ ‘Imaadul Bilad” yang menyatakan bahwasanya seorang wanita khususnya ibu memiliki peran sentral sebagai tiang negara yang menentukan kualitas generasi setelahnya, termasuk dalam kaderisasi calon ibu setelahnya. Ibaratnya, kini seorang ibu menjadi mentor bagi calon ibu di masa mendatang melalui anak perempuannya. Seorang mentor terkadang juga menjadi komentator dalam melakukan fungsi pembimbingan terhadap anak didiknya menuju ke arah yang lebih baik. Maka jelaslah bahwa kompetensi seorang ibu begitu sangat diperlukan. Banyak yang mengatakan, kepribadian dan kompetensi seorang anak dibentuk sejak saat dalam kandungan rahim ibunya. Ilmuwan sains modern mengungkap sebuah riset penelitian musik klasik yang dapat merangsang perkembangan saraf dan Indra bayi dalam kandungan apabila diperdengarkan secara konstan sejak pada natalitas. Islam pun demikian, banyak ulama klasik dan kontemporer yang telah lama menganjurkan ibu hamil untuk berdoa, membaca dan memperdengarkan Al-Qur’an serta berperilaku positif dalam rangka tirakat anaknya yang hendak lahir agar diberikan keselamatan dan kesuksesan. Manajemen positif seorang ibu sangatlah diperlukan bagi anak-anaknya. Filsuf John Locke mengibaratkan bayi yang baru lahir seperti kertas putih yang masih kosong (a blank sheet of paper), peran krusial seorang ibu menorehkan tinta kreasi terhadap anaknya dengan semangat Uswatun Hasanah. Ali bin Abi Thalib menganjurkan untuk mendidik seorang anak sesuai dengan zamannya, karena zaman mereka hidup berbeda dengan zaman orang tuanya. Seiring perkembangan zaman yang begitu pesatnya, di Era Revolusi 4.0 ini para wanita milenial harus membekali dirinya dengan beragam kompetensi yang dinamakan “softskill” yang merangsang keterampilan dan kemandirian berkembang sesuai tuntunan era digital saat ini. Menjadi wanita karir mungkin menjadi dambaan bagi kaum hawa saat ini. Seiring adanya emansipasi wanita, kasta antara pria dan wanita kian memudar. Kini posisi wanita hampir sejajar dengan pria, namun demikian mereka juga harus mengingat perannya sebagai seorang istri dan ibu. Pepatah “Surga dibawah telapak kaki Ibu” menggambarkan tingginya derajat seorang Ibu dihadapan Allah. Menilik Sejarah, Indonesia pernah menjadi saksi bisu kemandirian seorang ibu dari Jawa dan Sumatera dalam Kongres Perempuan Indonesia I di Yogyakarta. Mereka yang terkumpul dari 12 kota ini membahas isu kemandirian wanita Indonesia tanpa memandang gender sejak 22 Desember 1928 kala itu. Tanggal 22 Desember 1935 menjadi sejarah penetapan hari Ibu oleh Kongres Perempuan Indonesia III untuk kali pertama. Secara resmi, Hari Ibu telah diperingati secara Nasional sejak dikeluarkannya Dekrit Presiden No. 316 tahun 1959 oleh Presiden Soekarno yang menetapkan bahwa tanggal 22 Desember adalah Hari Ibu. KARYA : AHMAD ROYHAN FIRDAUS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar