PENYITAAN BUKU ANARKISME DAN ANCAMAN TERHADAP KEBEBASAN LITERASI


    

        

         Penyitaan buku-buku bertema anarkisme oleh aparat kepolisian di Jawa Barat dan Jawa Timur pasca kericuhan Agustus--September 2025 membuka kembali perdebatan klasik mengenai posisi literasi di hadapan hukum. Polisi beralasan bahwa buku-buku tersebut dijadikan barang bukti untuk membangun konstruksi perkara terhadap para tersangka. Namun, logika hukum ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah sebuah buku dapat diperlakukan layaknya senjata tajam atau bom molotov yang berfungsi sebagai instrumen kriminalitas?

        Secara etimologis, istilah anarkhia berasal dari bahasa Yunani, gabungan dari awalan an (tanpa) dan arkhos (pemimpin atau penguasa). Dalam terminologi filsafat politik, anarkisme bukan semata-mata ajaran kekacauan. Ia merupakan salah satu tradisi intelektual yang menekankan kemungkinan masyarakat mengatur dirinya sendiri tanpa kehadiran negara yang hierarkis, represif, atau memaksa. Namun, dalam ruang publik Indonesia, kata "anarki" sering kali direduksi sebatas sinonim dari kekerasan dan kerusuhan. Penggunaan istilah "aksi anarkis" dalam pemberitaan, misalnya, telah membekukan makna anarkisme sebagai filsafat politik menjadi sekadar label kriminalitas. Inilah reduksi intelektual yang berdampak serius: ia menutup pintu diskusi, memutus tradisi berpikir kritis, dan menggiring masyarakat untuk percaya bahwa gagasan hanya punya satu makna, yaitu bahaya.

        Buku pada hakikatnya adalah produk literasi hasil olah pikir, renungan, dan dialektika manusia terhadap realitas sosialnya. Buku memuat gagasan, bukan perintah. Ia adalah ruang kontemplasi, bukan manual aksi jalanan. Menyamakan buku dengan propaganda kerusuhan berpotensi membalikkan fungsi literasi itu sendiri. Literasi hadir untuk memperluas cakrawala, membangun kesadaran, dan menumbuhkan daya kritis. Jika buku dipandang sebagai barang bukti kriminal, maka literasi berubah menjadi sesuatu yang patut dicurigai. Analoginya sederhana: seseorang yang membaca strategi perang gerilya Che Guevara tidak serta-merta menjadi gerilyawan, sama halnya orang yang membaca buku astronomi tidak otomatis menjadi astronot. Buku tidak bekerja dengan logika deterministik; ia membuka kemungkinan tafsir, perdebatan, dan kritik.

           Penyitaan buku dengan alasan "memuat paham tertentu" menimbulkan risiko besar: kriminalisasi literasi. Sejarah Indonesia telah berulang kali mencatat praktik semacam ini. Pada era kolonial, pemerintah Hindia Belanda melarang karya-karya yang dianggap menghasut perlawanan. Pada masa Orde Baru, buku-buku Pramoedya Ananta Toer dan karya pemikir kiri dilarang beredar, bahkan dibakar. Kini, dalam sistem politik yang mengklaim diri demokratis, pola lama itu muncul kembali dengan wajah baru. Buku-buku diletakkan di meja konferensi pers kepolisian seolah-olah ia adalah barang bukti fisik kejahatan. Hal ini menimbulkan kesan bahwa gagasan yang tercetak di atas kertas dianggap sebanding dengan senjata tajam atau bahan peledak. Padahal, demokrasi modern semestinya melindungi kebebasan intelektual, termasuk hak membaca dan menyebarkan gagasan. Menyalahkan buku sebagai pemicu kerusuhan justru menyederhanakan kompleksitas persoalan sosial yang lebih luas, seperti ketidakadilan struktural, kemiskinan, dan kekecewaan terhadap negara.

            Menghubungkan kerusuhan dengan buku anarkisme juga mengandung problem metodologis. Kerusuhan sosial tidak lahir dari satu sebab tunggal. Ia adalah hasil dari akumulasi faktor: ekonomi, politik, ketidakpercayaan terhadap institusi, hingga dinamika psikologis massa. Dengan menjadikan buku sebagai kambing hitam, kita berisiko mengabaikan akar masalah yang sebenarnya. Alih-alih mengkaji mengapa sebagian masyarakat memilih jalan kekerasan dalam menyampaikan protes, perhatian publik justru dialihkan ke deretan judul buku di atas meja. Ini bukan hanya pengaburan, melainkan juga pembalikan logika: seolah-olah kerusuhan adalah akibat membaca, bukan akibat ketidakadilan sosial.

            Tindakan kriminal seperti perusakan dan pembakaran fasilitas publik jelas merupakan pelanggaran hukum yang patut dihukum. Namun, membatasi atau menyita buku dengan alasan ideologi yang terkandung di dalamnya bukanlah solusi. Buku tidak  identik dengan kejahatan. Membaca tidak dapat dipidana. Yang semestinya menjadi fokus adalah tindakan nyata yang melanggar hukum bukan gagasan yang tercetak di halaman literatur. Menyita buku dengan dalih keamanan hanya menunjukkan ketakutan negara terhadap pikiran warganya sendiri. Bangsa yang besar adalah bangsa yang berani berhadapan dengan gagasan, bukan bangsa yang menutup diri dari perdebatan intelektual. Jika kita terus mencurigai buku, maka kita sedang melanggengkan krisis literasi. Dan krisis literasi jauh lebih berbahaya daripada kerusuhan apa pun, sebab ia melahirkan masyarakat yang takut berpikir, tetapi berani menghukum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar