Melihat iklim kepimpinan di Indonesia seakan-akan sudah ada signal akan adanya bencana yang akan melanda Negara ini. Segala persiapan seperti payung, perahu dan kapal selam perlu dipersiapkan sebagai langkah berjaga-jaga. Mungkin juga, mencari inisiatif berada di posisi aman yang bisa mengelakkan dari titisan hujan yang membasahkan. Lalu, menyelamatkan diri daripada arus air overdosisnya yang akan menghanyutkan, menenggelamkan, melemaskan hingga mematikan.
Keadaan Negara yang tidak tentu arah, itu karena ulah rakyat sendiri. Tidak boleh menyalahkan pemimpin sepenuhnya. Syekh Musthofa al-Ghalayaini dalm idzotun nashiinnya mengatakan, ”Jika kita menghitung kebaikan pemimpin dan kerusakan bangsa. Maka, tidak selang beberapa pemerintah akan rusak. Jika bangsa itu baik, sedangkan pemerintah rusak. Maka tidak lama lagi pemerintah akan baik dan akan mengikuti tindak-tanduknya”.
Namun dalam keadaan genting seperti ini, pemimpin sendirilah yang harus mengevaluasi dan membuat tranformasi diri. Dari sini, mari kita menyingkap sedikit sifat yang butuh pada pemimpin yang mana difokuskan dan disimpulkan menjadi satu ia itu komitmen.
Pemimpin mana saja tidak akan mampu memimpin dengan kemampuannya sendiri. Pasti, akan membutuhkan tambahan petunjuk atau main way sebagai panduan menjadi seorang pemimpin yang baik. Dalam hal ini, sudah tentu al-Quran dan sunnah yang cocok di jadikan andal. Kedua-duanya harus dijadikan commander of life. Apa kata quran dan sunnah, harus di patuhi. Siap, laksanakan. Inilah komitmen konsepsional. Kesadaran juga sangat penting bagi seorang pemimpin yang mana ia berkait rapat dengan komitmen operasional. Bukan berbuat sesuatu karena di perintah atau di suruh, tapi karena kesadaran. Bukan karena beban atau kewajiban, tapi karena sebuah kebutuhan. Sadar bahwa melaksanakan kepimpinan itu butuh kesadaran.
Tidak terhenti saja, harus diteruskan dengan menyampaikan ,yakni komitmen terhadap dakwah. Dakwah di sini ialah bagaimana ia bisa mensosialisasaikan nilai-nilai kebaikan pada seluruh orang yang ada di sekelilingnya. Berbicara tidak terbatas untuk berkampanye. Bahkan, berusaha agar mereka sentiasa dekat dengan dengan Allah. Dalam dakwah pasti ada dua implikasi iaitu amar ma’ruh (moral support) dengan mendukung kehidupan sosial dan nahi mungkar (moral control) dengan mengendalikan kehidupan sosial. Jadi, pemimpin harus memasyarakatkan kebaikan dan mencegah keburukan.
Terakhir adalah komitmen ukhuwah. Pemimpin perlu memiliki rabithah,ikatan persaudaraan keislaman yang kuat. Dia juga memiliki komunitas yang di dalamnya ada dua ciri yang mendasar iaitu itsar dan iffah, mendahulukan kepentingan orang lain dibandingkan dirinya sendiri dan perbuatan meminta-minta pada orang lain.
Menyelam ke dalam lautan sambil mengaut mutiara, itulah yang terbaik. Jika tidak, selamat kembali ke daratan itu adalah pilihan yang lebih utama. Dalam keadaan sulit ini, mustahil memerintah sambil mendalami sifat di atas. Namun, sekurang-kurangnya ada benih yang bisa di tanam dalam hati pemimpin untuk peringkat permulaan. Kemudian , ia akan berkembang, membesar dan membuahkan hasil yang menakjubkan. Itu pun dengan perawatan yang baik dan sistematis.
Sumber : Mirza/Sidogirimedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar