Di Khurasan, berkembang sebuah Aliran Tasawuf Malamatiyah yang anti mengggunakan pakaian tertentu sebagai ciri khas kelompok sufi. Aliran ini berpandangan bahwa seorang sufi selayaknya menyembunyikan identitas lahirnya dari mata khalayak ramai.
Pandangan tersebut merupakan reaksi dibalik Malamatiyah atas maraknya penggunaan ziyy al-Shufiyah (pakaian kelompok sufi) dalam tradisi sufi Irak. Dalam sejarah tasawuf, Irak memang disebut-sebut sebagai pusat kemunculan sufiyah (kelompok sufi) generasi pertama. Sebagai pandangan hidup personal, tasawuf memang ada sejak masa Rasulullah dan Sahabat, tapi sebagai sebuah komunitas yang memiliki tradisi dan ciri khas tertentu, kelompok sufi ditengarai muncul pertama kali secara masif di Irak.
Maraknya penggunaan pakaian khas sufi itu menjadi salah satu faktor penting sehingga sebagian besar peneliti tasawuf memiliki kesimpulan bahwa kata “tasawuf” diderivasi dari kata shuf (baju wol) yang menjadi pakaian khas mereka. Mereka juga menyimpulkan bahwa nama sufi merupakan nisbat (afiliasi) dari kata shuf ini.
Penggunaan pakaian yang sangat sederhana merupakan salah satu ekspresi kezuhudan seorang sufi. Hal ini menjadi fenomena umum kaum sufi khususnya yang berada di wilayah Irak. Mereka umumnya menggunakan pakaian putih penuh sobekan dan tambalan sebagai wujud ketidak pedulian mereka terhadap urusan materi (harta).
Ada pula kecenderungan, mereka hanya memiliki sepotong pakaian, tidak lebih. Dalam cerita Thayfur; ketika Abu Yazid al-Bistomi wafat, ia tidak meninggalkan kekayaan apapun kecuali sepotong pakaian ditubuhnya yang ia pinjam dari seseorang. Hal serupa juga dilakukan al-Jariri.
Kesederhanaan pakaian sebagai wujud kezuhudan ini mendapat reaksi keras dari kalangan sufi Malamatiyah di Khurasan. Aliran ini mengharamkan pemakaian pakaian robek dan bertambal. Sebab hal tersebut berarti menampakkan kezuhudan dirinya serta mengundang perhatiaan dan pujian orang.
Malamatiyah berpandangan bahwa seorang sufi harus menyembunyikan ekspresi batin dan hubungan dirinya dengan Tuhan. Bahkan semestinya menampakkan hal-hal yang tidak sejalan dengan syariat agar dipandang jelek oleh orang lain.
Pandangan ekstrim Malamatiyah ini tumbuh dari komitmen kuat mereka untuk memerangi penyakit-penyakit hati, seperti riya’ (ingin dilihat baik), ujb(kagum dengan diri sendiri ), dan nifaq (munafik/penampilan batin lebih baik dari batin).
Keengganan terhadap atribut sufi sebetulnya tidak hanya berkembang di kalangan Malamatiyah Khurasan. Di Irak pun pandangan semacam itu juga muncul dari beberapa tokoh sufi justru sebelum kemunculan Malamatiyah di Khurasan. Sufyan ats-Tsauri termasuk salah satu tokoh sufi Irak yang menentang penggunaan atribut sufi (ziyy al-shufiyah) yang berupa pakaian shuf (wol). Pada mulanya, Sufyan termasuk sufi yang pro dengan penggunaan ziyy al-shufiyah. Tapi, paska pertemuannya dengan pelopor sufi, Abu Hasyim az-Zahdi, ia berbalik arah menentang penggunaan pakaian shuf.
Sufyan dipengaruhi oleh Abu Hasyim mengenai teknis penyucian diri dari penyakit hati. Dalam riwayat Ibnu Qayyim al-Jauzi, Sufyan ats-Tsauri pernah berkata “Aku selalu riya tapi aku tidak merasa sehingga aku belajar pada Abu Hasyim. Aku belajar darinya tentang (bagaimana) meniggalkan riya’.”
Resiko riya’ dan penyakit hati bagi pemakaian baju shuf cukup besar. Al- Ghazali dalam Ihya ‘Ulumidin mengategorikan pemakaian shuf sebagai salah satu penyebab riya’ dalam masalah hubungan manusia dan Tuhan. Beliau mengupas panjang lebar tentang bagaimana pemakaian baju justru menjerumuskan seseorang pada lembah riya’. Orang yang riya’ terhadap ahl al-shalah (kelompok religius) akan menggunakan pakaian kasar penuh sobek dan tambalan. Sedangkan orang yang riya’ terhadap ahl ad-dun’ya (golongan dunia) maka ia memakai pakaian yang bagus dan indah.
Agak berbeda dengan al-Ghazali, Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim justru menolak mentah-mentah penggunaan pakaian tertentu di kalangan sufi. Dalam al- Istiqamah, Ibnu Taimiyah memvonisnya sebagai bid’ah dan kelakuan buruk kelompok Khawarij. Dalam interpretasi Ibnu Taimiyah penggunaan baju tertentu sebagai “panutan” atau simbol keagamaan adalah bid’ah, sebab Rasulullah tidak terikat dengan pakaian tertentu. Kritik yang sama disampaikan oleh Ibnu Qayyim, murid Ibnu Taimiyah dalam Ighatsat al-Lahfan, bahkan disitu ia memasukkannya sebagai perangkap dan tipu daya iblis.
Kritik terhadap penggunaan baju shuf juga diarahkan pada bahan dan jenis baju yang dipakai oleh para sufi itu. Dalam Talbis Iblis, Ibnu al-Jawzi mengisahkan bahwa pakar fikih, guru Abu Hanifah, Hammad bin Sulaiman, menegor tokoh sufi Farqad al-Sanji gara-gara ia memakai baju shuf yang merupakan pakaian biarawan Nasrani. “Letakkan kenasranianmu ini,” kata Hammad.
Dari sekian banyak sudut pandang di atas, pada dasarnya tidak ada nilai plus-minus dalam pakaian shuf sebagai sebuah benda. Nilai lebih atau kurang itu terletak pada bagaimana dan untuk apa pakaian itu digunakan.
Pada awalnya, pakaian shuf dengan segala kesederhanaannya digunakan oleh orang-orang yang zuhud sebagai bagian dari wujud tidak adanya cinta dunia dalam diri dan hatinya. Maka, baju shuf kemudian menjadi semacam salah satu identitas bagi kelompok sufi.
Ketika image itu tercipta, maka baju shuf memiliki beberapa resiko. Dalam pandangan Malamatiyah dan al-Ghazali, resiko utamanya adalah shuf bisa menjadi mesin penyakit hati , seperti riya’, ujb dan nifaq. Menurut Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim, baju shuf berisiko menyuburkan fanatisme atribut yang tidak diajarkan oleh Rasulullah.
Sedangkan menurut penulis, baju shuf dengan segala kesederhanaanya sangatlah baik selagi itu merupakan wujud dari ketidak cintaan seseorang terhadap materi, tidak lebih.
Oleh : Ahmad Mirza Wildan Abrar
Dikutip : Risalah sufistik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar