Bacalah Bacalah bacalah Itu perintahnya...!!!




Sebagaimana telah diketahui , membaca merupakan inti pendidikan. Setiap bangsa yang minat baca penduduknya di bawah rata-rata, maka pendidikan bangsa tersebut dianggap telah gagal. tak heran  allah swt, menurunkan ayat pertama memuat tentang pentingnya membaca (QS. Al-‘Alaq: 1-5).
Kata iqra’ tidak hanya diartikan ‘membaca’ oleh kebanyakan pakar al-Quran, tapi juga bisa diartikan menggali, mengamati, mengkaji dan memahami. Tidak hanya dari tulisan, namun dari segala objek ciptaan Allah, yakni alam semesta beserta isinya.
Membaca membuka jendela dunia menambah wawasan cakrawala, begitu kata pepatah kono mengungkapkan. Ungkapan itu tidaklah berlebihan, sebab dengan membaca seseorang bisa mengetahui hal-hal yang sulit yang tidak difahami. Kita bisa tahu seperti apa negara Mesir dan Swizerland, misalnya, tanpa harus mengeluarkan isi kocek sepeser pun. Cukup dengan membaca! Maka tak ayal jika mereka kota pendidikan yang sukses.
Sudah selayaknya membaca memiliki ‘kedudukan’ terhormat dan menjadi kebutuhan pokok setiap orang, bukan hanya sekedar hobi. Sebab jika tidak demikian, maka hanya akan terlahir generasi yang tidak memiliki wawasan luas dan kedangkalan pengetahuan.
Tak ada orang-orang besar yang tak senang membaca, seperti juga tak ada pemikir hebat yang tak menjadikan perpustakaan sebagai ‘surga’nya. Orang-orang hebat selalu lahir dari kesadaran membaca.
Ada cerita menarik dan inspiratif. Alkisah, seorang khalifah pernah meminta seorang ulama untuk menemaninya bercakap-cakap. Ketika sang utusan mendatangi sang ulama, ia melihat sang ulama sedang membaca dan dikelilingi oleh tumpukan buku. Utusan itu meminta kesediaan ulama tersebut untuk menghadiri undangan khalifah, tapi sang ulama menolak.
“Katakan bahwa aku sedang bercakap-cakap dengan ahli hikmah. Jika telah selesai, nanti saya akan datang.” Tegas ulama tersebut.
Si utusan menyampaikan pesan itu pada khalifah dan ia ditanyai siapakah ahli hikmah yang dimaksud. Sang utusan pun menggeleng tak tahu, sebab ia memang tak melihat seorang pun di hadapan ulama itu, kecuali tumpukan buku. Lalu sang khalifah memaksa ulama itu untuk hadir menghadapnya.
Ulama itu datang dan ditanyai oleh Khalifah, “Wahai ulama, siapakah ahli hikmah yang Anda maksud itu?”
Sang ulama menjawab, “Wahai khalifah, mereka adalah teman duduk yang pembicaraannya tak membosankan. Jujur dan bisa dipercaya, baik ketika gaib ataupun tampak dan jika kita sendirian. Mereka adalah sebaik-baik pembicaraan, pembantu utama untuk menghilangkan segala macam kesusahan. Mereka memberi ilmu tentang masa lalu berupa pemikiran dan pendidikan. Tak ada keraguan yang dikhawatirkan, tidak pula kejelekan yang bisa dihubungkan dengannya. Kita tidak takut pada mereka, baik lidah maupun tangan. Jika Anda katakan mereka hidup, Anda tidaklah keliru.”
Kisah tersebut menegaskan betapa umat Islam dahulu sangat cinta membaca. Bacaan memiliki pengaruh yang luar biasa hebat, hingga mampu melahirkan peradaban. Sejarah mencatat bahwa peradaban besar Islam yang lahir di Andalusia, juga di Negeri ‘Seribu Satu Malam’ Baghdad, didukung oleh buku-buku perpustakaan dan semangat membaca masyarakatnya.
Dalam hai ini, Negara Jepang memiliki prestasi luar biasa dan bisa dijadikan inspirasi tentang kecintaan membaca. Bagaimana tidak, menurut laporan stasiun TV di jepang mengatakan, jumlah toko buku di Jepang sama dengan yang ada di Amerika. Padahal Amerika dua puluh enam kali lebih luas dan berpenduduk dua kali lebih banyak dari Jepang. di Jepang, toko-toko buku buka sampai larut malam, jauh mengalahkan supermarket dan pasar pasar malam.
Fenomena tersebut menegaskan betapa buku begitu ‘dekatnya’ dengan penduduk Jepang. Bandingkan dengan masyarakat Indonesia yang—menurut sebuah catatan—budaya bacanya menempati posisi terendah dari 61 negara di kawasan Asia Timur.
Bagaimana pun, membaca tetaplah kegiatan mulia. Namun demikian, dari sekian bacaan, banyak juga yang menyesatkan dan justru meracuni otak. Memang, bacaan dibuat tidak hanya sebagai penambah ‘gizi’ otak, namun ada juga yang dibuat sebagai alat pendangkalan dan penyesatan. Untuk hal inilah, dibutuhan keselektifan dalam memilih bahan bacaan. Jadi kita tidak hanya sekedar membaca, tapi juga aktif mengkritisi jika memang ada yang menyimpang, terutama yang berkenaan dengan akhlak dan akidah.
Pada akhirnya, membaca haruslah diniati karena Allah semata-bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Menciptakan dan bersyukur atas diutusnya Rosululloh Saw, yang telah mengantarkan dari alam kebodohan menjadi alam literasi baca dan menulis yakni membaca bacaan yang Allah ridhai, insya-Allah pengetahuan yang kita dapat akan bermanfaat dan dapat mengantar ke jalan ketakwaan.(Mirza_jendral)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar