Perjuangan Atas Nama Cinta


Oleh : Jendral Pba. (Aalfy.id)

Sering dari kita memaknai cinta pada definisi yang dangkal. Maka tidak heran muncul berbagai tindakan amoral atas nama cinta. Berhubungan badan layaknya suami istri karena sama-sama suka, kawin lari sampai pada istilah-istilah saat ini yang ramai di media sosial yang menggambarkan seorang istri merebut suami orang. Bagi saya hal ini terjadi karena pemaknaan cinta yang dangkal, sehingga rentan rayuan-rayuan keelokan tubuh dan bau parfum yang menyengat menjadi bencana bagi kita.


Sebagaian besar orang memaknai cinta pada definisi empiris saja, sehingga ranah terdalam cinta tidak diindahkan sama sekali keberadaannya. Hal ini pernah dikomentari Haidar Bagir. Ia mengatakan perbuatan atas pasangan yang menyebabkan tindakan-tindakan di luar batas itu tidak lebih dari perasaan subyek yang suka atas postur tubuh pasangannya, harta, pakaian, parfum dan sebagainya. Dalam hal ini cinta tidak hanya kehilangan kesakralannya tetapi juga kita tak mampu lagi memaknai cinta yang sedalam-dalamnya.
Perjuangan-perjuangan atas nama cinta dari para pencinta sejati lahir dari sikap tanpa pamrih, dan mungkin ini masih tidak dipahami oleh sebagian besar kita. Tentu perjuangan yang dimaksudkan adalah perjuangan untuk membahagiakan seseorang yang kita cintai tanpa mengharapkan apa-apa darinya. Semangat memberi dan berkorban, ciri utama dari pencinta sejati, menjadi hal yang amat sulit ditemukan dewasa ini. Perkara demikian menjadi titik yang mereduksi cinta dari makna aslinya.
Bagi Buya Hamka, cinta itu adalah candu. Diibaratkannya seorang perempuan mandul yang ingin punya anak. Dia rela kesana kemari untuk mencari obat agar dia hamil. Apakah ia tidak berpikir bahwa hamil dan melahirkan itu sangat sakit dan menyiksa? Tapi begitulah seorang perempuan. Pekikan pertama seorang anak yang keluar dari rahimnya tersebut menghilangkan rasa sakit yang berbulan-bulan itu, lantas menyusui, memangku, dan menggendongnya pula. Itulah cinta, rasanya lezat, melebihi candu. Begitulah sifat-sifat yang dimiliki pencinta sejati.
Kerelaan untuk berkorban itulah yang menjadi kesulitan kita dalam memaknai cinta dewasa ini. Hal ini ditegaskan pula oleh Haidar Bagir. Ia mengatakan cinta membutuhkan kemampuan yang lahir dari kesadaran, bahwa cinta identik dengan semangat memberi dan berkorban.
Tentu kita tidak asing dengan kisah Qoys dan Laila atau Laila Majnun. Di sini sedikit saya kutip seperti yang dikisahkan dalam Fihi Ma Fihi karya Maulana Rumi. Seorang khalifah mendatangkan Majnun dan bertanya kepadanya; “Apa yang terjadi padamu, sehingga engkau jadi begini? Kau sudah memalukan dirimu sendiri, kau pergi dari rumahmu, kau menjadi hancur dan hilang, siapa itu Laila? Bagaimana kecantikannya? Akan kutunjukkan perempuan-perempuan yang cantik dan menarik, akan kujadikan mereka sebagai penyelamat kegilaanmu.” Ketika perempuan-perempuan itu tiba, Majnun dipersilahkan melihat. Tapi Majnun hanya menunduk.
Angkat kepalamu dan lihatlah wahai Majnun…” kata khalifah.
Aku takut,” jawab Majnun. “Cintaku pada Laila adalah sebuah pedang yang terhunus. Jika aku angkat kepalaku, pedang itu akan menebas perempuan-perempuan itu.”
Sepenggal cerita di atas menyiratkan bagaimana Laila tidak lagi menjadi sosok fana bagi Qoys. Suara Laila telah menyatu dengan telinganya, aura Laila telah merasuk dalam sukmanya, sehingga apa-apa yang dilihat dan dirasakan Qoys adalah sosok Laila. Semangat cinta Qoys kepada Laila tidak mengenal lelah. Bagi saya cinta Qoys kepada Laila tidak meruang dan mewaktu.
Cinta adalah kekuatan yang suci. Cinta adalah sumber semangat, motivasi, dan inspirasi. Cinta berarti melebur menjadi satu, sebagaimana Maulana Rumi menjelaskan perihal Laila Majnun. Menjadi pencinta sejati adalah berani berkorban dan memberikan yang terbaik untuk sesuatu yang kita cintai termasuk pada negara dan bangsa ini.
Keikhlasan menjadi faktor yang paling penting dalam menumbuhkan semangat pengorbanan dan memberi tanpa mengharapkan apa-apa. Keikhlasan memang tidak bisa diukur dengan apapun, tapi bagi saya keikhlasan bisa terus diasah dan membiasakannya dalam kehidupan sehari-hari.
Acuan dalam mengasah dan membiasakan keikhlasan tersebut harus dimulai pada semangat memperbaiki diri dan tidak bertolak pada materi duniawi.
Dengan berbagai kasus dan pemberitaan yang jelek terhadap generasi bangsa yang seharusnya menjaga bangsa ini dengan moralitas, tentu semangat cinta seperti Laila Majnun bisa sangat relevan dengan kondisi generasi bangsa yang kacau seperti ini. Dalam artian lebih baik seperti Qoys atau Majnun, menyendiri, menyatu dengan berbagai elemen alam. Begitulah cara Qoys merawat dan cintanya, manislah baginya hidup meski orang lain memandangnya pahit.
Tulisan ini disarikan dari beberapa sumber, di antaranya terjemahan Fihi Ma Fihi;Mengarungi samudera Kebijaksanaan karya Rumi, Tasawuf Modern karya Hamka, dan Islam; Risalah Cinta dan Kebahagiaan karya Haidar Bagir.

3 komentar:

  1. Mantaaap....tulisannya mencerahkan semoga kita menjadi pencinta sejati termasuk pencinta Allah dan Rasulnya....amin
    Salam
    www.suheriattaqwa.com

    BalasHapus
  2. Mantap lek wildann
    Sangat berkualitas.

    BalasHapus
  3. Mantap lek wildann
    Sangat berkualitas.

    BalasHapus