Beberapa tahun belakangan
ini, konsep pembelajaran UIN Malang mulai mengalami banyak perubahan. Budaya ulil albab yang tertanam seakan semakin
terus dikembangkan. Terlebih, ketika
Prof. Abdul Haris menjabat menjadi rektor. Suara
demi suara, beliau gaungkan dengan ekspektasi yang menggiurkan. Sehingga,
acapkali melahirkan ambiguitas serta pertanyaan besar, Bisakah diimplementasikan?.
Kembali teringat wasiat Prof.
Imam Suprayogo yang didemontrasikan dalam beberapa webinar belakangan ini,
bahwa UIN Malang didirikan berasaskan Ulil
Albab. Sehingga, pembelajaran bahasa Arab dijadikan sebagai kebutuhan
primer dan bekal utama menuju jenjang selanjutnya. Menurut Dr. Saiful Mustofa,
kebijakan ini merupakan bentuk tajdid Prof. Imam terhadap kejumudan bangsa kita dalam perkembangan
kebahasaan. Sehingga motivasi untuk mengentalkan kebahasaAraban tertanam
selaras dengan pengaruh bahasa Arab di dunia.
Keterlibatan bahasa Arab
dalam kebijakan Prof. Imam memberikan ekspektasi sederhana bahwa setidaknya
dengan mengenal bahasa Arab, mahasiswa UIN Malang dapat memahami syariat
sekalipun hanya sebatas konteks. Sebab keterkaitan bahasa Arab dengan Islam
bagaikan masjid dengan kubahnya. Artinya, bahasa Arab merupakan satu kesatuan
yang sangat erat kaitannya dengan agama islam. Demikianlah sederhanya beliau
ungkapkan.
Namun, secara mendalam
dapat kita ketahui bahwa dengan bahasa Arab, kita dapat mengenal dunia
seutuhnya. Hal ini dibuktikan dengan pengaruh bahasa Arab yang semakin
mendunia. Bahkan, sejak ditetapkannya sebagai bahasa dunia, bahasa Arab
merupakan salah satu bahasa yang hampir dapat ditemui di berbagai kalangan
masyarakat dunia. Terlepas dari destinasi tanah arab, bahasa Arab memang
menunjukkan eksistensinya sebagai bahasa dunia dari kekayaan bahasanya yang
melampaui bahasa manapun. Sebagaimana yang dikatakan Jawwad Ali dalam Mafashil at Tarikh fi ‘Arab, bahwa
bahasa Arab memiliki 13 juta kosakata jauh di atas bahasa Inggris yang hanya
memiliki 1 juta kosa kata. Hal ini menjadi sebab mengapa bahasa Arab menjadi
tuturan masyarakat dunia.
Berangkat dari
pertimbangan tersebut, kemudian Prof. Imam mengimprovisasi bahasa Arab dengan
berbagai disiplin ilmu umum lainnya. Sehingga kemudian muncullah program
intersif kebahasaAraban sebagai bentuk perwujudan konsep dan program intensif
bahasa Inggris sebagai bentuk penyelarasan konsep sembari didukung dengan
program Ma’had Jami’ah yang mengentalkan nuansa keislaman. Dari inovasi-inovasi
tersebut kemudian tertampung budaya belajar yang terpadu dengan melibatkan
konsep islam.
Pasca revolusi, lalu
hadirlah pergantian nahkoda sebagai bentuk estafet kepemimpinan. Prof. Abdul
Haris almuhasibi menjadi pengacung telunjuk tertinggi untuk meneruskan
perjuangan. Bapak millenial ini mengajukan diri untuk membuktikan akan
kemampuannya dalam memanagerisasi instansi.
Sebagai pemain baru,
tentunya beliau menyelami terlebih dahulu sebelum kemudian menelan atau melepah
beberapa konsep yang ada. Sebab, perihal kebijakan, perlu adanya rekonstruksi
ulang terkait instrumen yang digunakan. Entah
sebagai koreksi atau bahan untuk menunjang kemajuan.
Dari berbagai konsep yang
ditemukan, akhirnya tersimpulkan empat pilar, yaitu kedalaman spritual,
keagungan akhlak, keluasan ilmu dan kematangan professional.
Kedalaman spritual
merupakan pilar pertama. Pilar ini merupakan wujud dari keluwesan konsep yang
berorientasi di bidang keagamaan. Kemudian, pilar ini dibentuk dengan prioritas
yang luhur sehingga melahirkan kebijakan-kebijakan yang berasaskan keislaman.
Keagungan akhlak merupakan
pilar yang kedua setelah kedalaman spritual. Sebagai pilar kedua, keagungan
akhlak hadir sebagai penerapan konsep keagamaan dan kesosialan. Di sisi lain,
keagungan akhlak merupakan bejana yang menampung kedalaman spritual dan
keluhuran budi pekerti yang diterapkan melalui konsep sosial dan muamalah.
Keluasan ilmu merupakan
pilar ketiga. Hadir menyertai spritualitas dengan menekankan proses
pembelajaran dan peningkatan kualitas dalam menghadapi kemajuan zaman.
Dan kematangan profesional
merupakan pilar yang terakhir. Pilar ini merupakan acuan dalam peningkatan professionalitas
yang agamis, bermoral dan berilmu. Kematangan profesional selaras dengan
peningkatan kualitas dan pembenaran konsep. Sebab, kehadiran era 4.0 bukan
tidak mungkin untuk merotasi arah pembelajaran yang kurang mengusung profesionalitas.
Dari empat pilar diatas,
dapat disimpulkan bahwa Prof. Haris berusaha mengintegrasikan pendidikan agama,
pendididikan moral dan sains sebagai penunjang didalam menjaga budaya yang
telah dibangun oleh Prof, imam.
Di sisi lain, konsep yang
dijalankan UIN Malang seringkali tuai pujian. Pasalnya, konsep tersebut tidak
serta merta mudah untuk menerapkannya. Dr. Abdul Hamid (Ketua Markazul Lughat)
mengatakan “Yang demikian (program intensif dan ma’had) ini hanya ada di UIN
Malang sehingga kampus lain seringkali datang untuk menanyakan konsep yang ada
disini” ujarnya. Begitu pula Ustadz Abdul Shomad seorang pendakwah kondang
pernah berkata ketika ditanya tentang konsep pembelajaran. Beliau berkata “Jika
ingin terkejar materi keislaman yang ada, tirulah UIN Malang dengan ma’hadnya, pagi
kuliah, sore belajar bahasa arab dan malam pulang ke ma’had untuk belajar
keislaman”.
Memang seyogyanya UIN
Malang tuai pujian demikian. Sebab, keberaniannya dalam mengonsistenkan konsep
yang tertata dari awal sangatlah sulit untuk dilakukan. Terlebih, ketika musim
pandemi yang sudah berjalan beberapa waktu belakangan ini. Tentunya, pihak
rektorat mengalami probibalitas dalam mengatasi permasalahan. Tak terpungkiri
ketika kegiatan ma’had juga daring (dalam jaringan), proses interaksinya
sangat-sangat terganggu dan tentunya mengubah seluruh budaya yang telah
dibangun bertahun-tahun.
Kebijakan dalam pandemi
tentang seputar pendidikan mungkin dapat dikatakan sangatlah baik. Namun,
tentang administrasi dan finansial mungkin masih menjadi masalah. Sebab,
beberapakali pihak rektorat mendapati demo besar-besaran dari mahasiswa terkait
ketidakpuasannya. Alih-alih sebagai tranmisi
pandemi, mahasiswa pemohon penurunan UKT tidak dilakukan dengan bijak. Padahal di dalamnya terdapat keringat
petani yang sulit untuk menelan sesuap nasi. Namun, tetap saja
kurang mendapati kebijakan yang baik. Suara-suara seringkali menggaungkan
ketidakadilan UIN Malang terkait pendanaan, akan tetapi tetap saja mereka
menutup telinga untuk menindaklanjuti. Hal ini yang kemudian berbeda dengan
kebijakan Prof. Imam. Dimana Prof. Imam selalu mementingkan mahasiswanya
sedangkan Prof. Haris terlihat mementingkan beberapa pihak.
Maka dari itu, sebagai
prakata terakhir. Saya memohon kepada pihak rektorat yang saat ini memimpin,
untuk turut bersama mahasiswa mengatasi permasalahan yang ada. Terkait
pembelajaran, mungkin hanya antara instansi dan mahasiswa. Namun, terkait
ekonomi, antara mahasiswa dengan dirinya sendiri.
Salam Mahasiswa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar