Di tengah transisi Kota Malang, terdapat baliho melebar kira-kira dengan ukuran 5x8 m². Isinya adalah promosi jadul para politikus yang mendeklarasikan namanya sebagai calon presiden di 2024 mendatang. Di tempat strategis tersebut kemudian muncullah pertanyaannya, sebegitu pengaruhkah??
Sebagai rakyat jelata, perlu buat kita untuk mengkaji lebih dalam terhadap calon pemimpin kita secara personal, karakteristik partai dan prestasi politik serta keahlian yang mereka miliki. Sebab, perihal terkait kepemimpinan merupakan hal sakral yang perlu melalu proses justifikasi.
Probibalitas tentang kepemimpinan ini kemudian dapat kita analisa secara objektif dan selektif sehingga memunculkan sosok yang dapat menjadi perantara untuk mencapai sebuah tujuan. Mungkin saja, proses ini merupakan awal dari pembentukan negara yang berdaulat, akan tetapi selebihnya adalah melestarikan keutuhan bangsa sebagai bagian dari bentuk negara yang merdeka. Kebebasan bersuara misalnya. Saat ini yang menjadi tolok ukur sederhana adalah menjaga keutuhan demokrasi. Secara kasat pandang, opini masyarakat terhadap demokrasi hanya sebatas suara dan pendengaran. Artinya, segala bentuk upaya yang menjadi saran dan kritik masyarakat terhadap pemerintah harusnya diterima dengan baik, diseleksi dengan bijak dan diaplikasikan secara transparan. Sementara saat ini, kebebasan bersuara diatur sedemikian dengan berkedok ketertiban berpendapat. Sehingga, segala kontradiksi dijadikan sebagai ancaman moral terhadap pemerintahan secara subversif. Dengan demikian, citra demokrasi saat ini seakan menghilangkan gagasan rakyat sebagai pelaku, penikmat dan penghasil kebijakan.
Pada hakikatnya, pragmatisme masyarakat terhadap kepemimpinan bersifat kompleks. Hal ini mengacu pada pola masyarakat yang cenderung dinamis, berbudaya dan memiliki karakteristik berbeda satu sama lain. Sehingga, pola permasalahan yang harus diselesaikan juga sangat beragam. Hal ini merupakan motif dari selektifitas masyarakat mengenai sosok pemimpin yang akan menahkodai negara ini. Terlebih ketika demokrasi di negara kita saat ini menyentuh angka 50% dibawah standar demokrasi pada umumnya. Dengan demikian, proyeksi masyarakat terhadap pemimpin bukan hanya terkait kesederhanaannya dalam memimpin, akan tetapi juga kebijakan dan gebrakannya yang dijadikan pertimbangan di dalam memutuskan siapa yang pantas menjadi sosok pemikul dalam estafet kepemimpinan.
Menilik pada konsepsi perusahan besar, xiaomi melakukan beberapa strategi marketing kontroversional. Pada bulan april lalu, xiaomi melakukan rebranding perusahan besar-besaran dan sebagian bentuk riilnya ialah merubah logo. Perubahan logo tersebut hanya bagian bentuk logo xiaomi yang awalnya kotak menjadi sedikit tumpul bagian ujungnya. Hal ini dijadikan pembicaraan oleh netizen terkait perubahannya. Bukan dari desain yang kurang pas, akan tetapi harga yang sangat fantastis yang ditawarkan untuk perubahan logo sesederhana itu. Dengan demikian, nama xiaomi kembali mencuat dan dijadikan bahan pembicaraan yang terkesan negatif sehingga perhatian netizen terhadap xiaomi meningkat drastis. Kebijakan semacam ini disertai dengan strategi marketing. Strategi tersebut disebut word of mouth marketing. Word of mouth marketing adalah strategi marketing yang mengandalkan stimulus keterbalikan dengan tujuan memancing perhatian publik. Misalnya, produk A dipromosikan sebagai obat covid 19 yang paling ampuh didunia. Akan tetapi pada demo producting-nya, produk ini tidak sesuai dengan title produk yang dipromosikan. Pada akhirnya, ketidakpuasan ini memberikan kontroversi dan dijadikan sebagai bahan pembicaraan. Disinilah kemudian produk tersebut menyebar dan menjadikan konsumen awam terstimulus untuk memperhatikan. Sehingga nama produk tersebut dikenal khalayak ramai walaupun memunculkan stigma negatif. Dengan demikian, branding produk begitu mudah dikenal dan stigma-stigma masyarakat lambat laun dirubah searah dengan perkembangan produk yang ditawarkan.
Strategi di atas juga diterapkan dalam bentuk politik pemerintahan negara hahahihi saat ini. Partai banteng merah menerapkan strategi tersebut dengan mempublikasikan baliho besar yang dibranding senyuman wanita paruh baya sembari mempromosikan slogan yang diagungkan yaitu Kepak Sayap Kebhinekaan. Sebagai penerap word of mouth marketing, partai tersebut melakukan kampanye klasik dengan pemasaran produk dalam baliho sehingga persepsi masyarakat kembali digegerkan. sesuai dengan fungsional strategi tersebut, banyak pemerhati politik kemudian membicarakan dalam media publikasi dengan beberapa cemoohan dan kritikan pedas. Beberapa diantaranya menyatakan secara terbuka terkait kebijakan pihak partai yang dinilai ketinggalan zaman bahkan dianggap tidak relevan dengan perkembangan politik saat ini. Mungkin saja beberapa masyarakat milenial tergugah untuk apatis terlebih menghiraukan. Namun sebagian besar mengkonsumsinya sebagai sosialisasi kepemimpinan bukan lagi bahan pertimbangan. Dampaknya, relativitas masyarakat terkait kebijakan bersuara dibatasi dengan imajinasi proporsional dan menghilangkan kesadaran menerka. Dengan demikian, reaksi masyarakat terkait politisasi lainnya dihilangkan oleh responsif mereka yang berlebihan terlebih dalam masalah kebijakan pemerintah yang sedang berlangsung.
Hemat saya, hal ini dipengaruhi oleh status bangsa kita sebagai bangsa yang minim literasi. Dalam hal ini pula, politikus memanfaatkan sebagai bahan pokok pengaplikasian strategi word of mouth marketing dengan menawarkan produk yang memiliki persepsi kurang apik lalu dikonsumsi tanpa pertimbangan penuh seolah-olah menjadi produk yang diyakini dapat dilestarikan sebagai produk andalan. Sederhananya, praktik strategi ini juga dibungkus dengan background politik yang dibranding dengan cara yang dianggap tidak relevan kemudian diyakini sebagai maklumat estafet pemerintahan. Terlebih ketika paham feodalisme mendarah daging, maka seharusnya strategi ini berpengaruh cukup lama dan sangat disayangkan jika bangsa kita terlarut dalam kesalahan mengolah informasi dalam jangka panjang.
Akhir kata, tulisan ini merupakan proyek pemutus reaksi strategi word of marketing yang saat ini diaplikasikan. Bukan didasarkan atas kecenderungan emosional, akan tetapi didasari pelestarian kebebasan berfikir, berimajinasi, dan berpendapat agar dapat realisasikan dalam lingkup demokrasi. Sebagai prakata terakhir mungkin ada beberapa yang perlu diperhatikan bahwa konsep aktualisasi yang ditawarkan terkadang berjalan berbalik arah. Maka seyogyanya patut kita curigai jangan-jangan karena ada satu bagian yang mau dijunjung tinggi lalu sebagian lainnya dijadikan umpan.
🔥🔥🔥
BalasHapus