Akar Penindasan Perempuan Bukanlah Budaya Patriarki | El-Fatih | Artikel


 

Akar Penindasan Perempuan Bukanlah Budaya Patriarki

 


 

August Bebel dibukunya Perempuan di Masa Silam, Kini, dan Masa Depan (1886) menuliskan, penindasan perempuan adalah budaya patriarki. Tulisan August Bebel ini sangat lemah karena tidak didasari pada pisau analisis materialisme historis.

Logika penindasan perempuan disebabkan oleh budaya patriarki, sering digunakan oleh beberapa kaum feminis untuk menegaskan dominasi laki-laki terhadap ketimpangan yang menimpa perempuan. Logika semacam ini meninggalkan tanda tanya yang sangat besar karena memisahkan akar penindasan perempuan dengan analisis kelas dan menepatkannya pada disfungsional kesadaran masyarakat.[1]

Memanfaatkan teori semacam itu untuk mendeskripsikan penindasan perempuan, menyiratkan pemahaman bahwa kehidupan masyarakat berjalan dengan statis/bersifat ajeg, padahal pada kenyataannya kehidupan masyarakat selalu berubah, mengikuti kekuatan sosial yang dilandasi oleh corak produksi.

Marx dan Engels, menekankan bahwa manusia dan hubungannya ditentukan oleh corak produksi yang akan membentuk hubungan sosial tertentu, meninggalkan yang usang, dan memperbaharui yang lain, sehingga membentuk suatu hubungan ekonomi yang baru.[2]

Hal ini tidak bisa dijelaskan sekadar dengan teori patriarkis, seperti apa yang dituliskan oleh August Bebel, ini dikarenakan adanya perbedaan yang sangat signifikan antara aspek kepentingan keluarga dari kelas yang berkuasa dan kelas yang dikuasai.[3]

Engels dalam The Origin of the Family, Private Property and the State, menuliskan penindasan dan eksploitasi yang dialami perempuan bukanlah hal yang ajeg. Menurut Engels penindasan perempuan yang ada hari ini disebabkan oleh sistem keluarga yang berlaku saat ini.

Bentuk keluarga yang eksis sekarang ini merupakan bentuk keluarga yang diciptakan oleh sejarah, bukan institusi yang setua peradaban manusia itu sendiri. Perkembangan bentuk keluarga dalam Asal Usul Keluarga dimulai dari keluarga Sedarah, keluarga Punaluan, keluarga Berpasangan, dan keluarga Monogami.

Keluarga sedarah. Engels menjelaskan, tahap ini manusia masih mengawini kerabat dalam satu keluarga, kelompok perkawinan sendiri diatur menurut generasi. Dalam tahap ini terdapat larangan untuk kawin dengan beda generasi. Misalnya generasi kakek dilarang kawin dengan generasi cucu.

Keluarga punaluan menambahkan larangan perkawinan yang bisa dibilang lebih rumit dari keluarga sedarah, jika dalam keluarga sedarah dilarang kawin lintas generasi, maka dalam keluarga punaluan praktik seksual antar saudara sedarah dari garis ibu pun dilarang.

Perkembangan pelarangan dalam keluarga punaluan tidak hanya sampai disitu, yang awalnya hanya praktik larangan praktik seksual sedarah kemudian berkembang menjadi larangan melakukan praktik seksual antar sepupu.

Tahap ini tidak hanya berkutat pada larangan-larangan, melainkan juga berkutat dalam memperkenalkan gens.[4] Mereka yang merupakan kumpulan dari anak perempuan keturunan ibu mewarisi apa yang disebut dengan gens tersebut, sedangkan anak laki-laki tidak mewarisinya, mengapa?

Karena bapak adalah sosok yang tidak dapat diidentifikasi/dikenali oleh anaknya tapi ia mengenal siapa ibunya, dan hanya ibu yang juga mengenal siapa anaknya, melalui apa yang disebut dengan mother right gens mereka tinggal dalam satu keturunan ibu.[5]

Bentuk keluarga yang berkembang selanjutnya adalah keluarga berpasangan, tahap ini digambarkan oleh Engels dengan sangat baik dalam bukunya;

Dengan demikian, ketika secara proporsional kekayaan meningkat, maka di satu sisi, hal ini memberikan status lebih tinggi pada laki-laki didalam keluarga ketimbang perempuan –pada sisi lain menciptakan dorongan untuk menggunakan kekuatan posisinya guna menggulingkan pengaturan pewarisan tradisional lewat garis ibu, demi kepentingan anak-anaknya. Tetapi, hal ini tidak mungkin terjadi selama keturunan didasarkan lewat garis ibu. Maka, hak lewat garis ibu harus digulingkan, dan rupanya terjadilah penggulingan itu. Hal ini tidak terlalu sulit dilakukan, seperti yang mungkin kita bayangkan sekarang. Karena revolusi ini –salah satu peristiwa paling menentukan yang pernah dialami manusia- mampu mengambil-alih tempat tanpa menganggu seorang pun anggota keluarga gente yang hidup. Seluruh anggota gente tetap dapat hidup seperti biasa. Keputusan yang cukup sederhana yaitu bahwa dimasa depan anak cucu laki-laki harus tetap di dalam gente ayah, tetapi anak perempuan harus dikeluarkan dari gente dengan cara ditransfer ke dalam gente ayah mereka. Dengan cara demikian, garis keturunan pada garis perempuan dan hak pewarisan melalui ibu digulingkan, digantikan oleh garis keturunan menurut laki-laki dan hak pewarisan melalui ayah.[6]

Dari penjelasan Engels diatas terjadi transformasi dalam keluarga terutama mother right gens yang digulingkan (kekalahan perempuan).

Penggulingan hak ibu adalah peristiwa sejarah dunia kekalahan perempuan. Laki-laki mengambil alih komando di dalam rumah; perempuan didegradasi pada tugas pelayanan, posisinya menjadi pemuas nafsu laki-laki dan semata-mata menajdi instrumen memproduksi anak.[7]

Fase perkembangan bentuk keluarga yang terakhir dan masih eksis hingga hari ini adalah tahap keluarga monogami. Tahap ini memiliki karakteristik supremasi laki-laki yang tujuan utamanya adalah melahirkan anak laki-laki ayah yang nantinya menjadi ahli waris alamiah yang newarisi kekayaan ayahnya.

Dalam bentuk keluarga monogami inilah penindasan perempuan yang dilakukan oleh pihak laki-laki semakin tergambar jelas, semakin terkondisikannya pemahaman bahwa laki-laki pencari nafkah di luar rumah dan perempuan sebagai penerima nafkah bekerja hanya dibidang domestik. Pemahaman seperti ini yang hingga hari ini masih dominan diadopsi masyarakat dunia.

Jika dilihat menggunakan kacamata antropologis historis seperti diatas, sangat jelas terlihat bahwa akar penindasan perempuan bukanlah dominasi laki-laki, melainkan adanya suatu kelas dalam masyarakat yang diciptakan oleh realitas ekonomi dan corak produksi.

Realitas ekonomi/corak produksi yang berkembang saat ini adalah kapitalisme, walaupun kapitalisme bukan yang menciptakan penindasan terhadap perempuan, tetapi kapitalisme melanggengkannya melaui penciptaan seksisme yang khas dalam struktur kelembagaan baru.[8]

Bagi kapitalisme melanggengkan representasi seksisme terhadap perempuan mempunyai tiga manfaat. Pertama, ia menurunkan tagihan upah keseluruhan untuk kelas kapitalis dan dengan demikian meningkatkan tingkat rata-rata eksploitasi kelas pekerja.

Kedua, ini memberikan tekanan ke bawah pada upah semua pekerja dengan meningkatkan persaingan antara bagian-bagian kelas pekerja dan memberi pengusaha sarana untuk mengurangi keuntungan yang telah diperoleh sebelumnya.

Terkait dengan hal ini, secara historis juga telah melemahkan organisasi di dalam kelas pekerja, karena perempuan cenderung memiliki serikat pekerja yang lebih buruk daripada rekan-rekan laki-laki mereka, menambahkan tekanan ke bawah lebih lanjut pada upah dan kondisi.

Terakhir, ia bertindak untuk mengadu domba pekerja laki-laki dengan perempuan, karena pekerja laki-laki sering memandang pekerja perempuan yang dibayar lebih rendah sebagai ancaman terhadap upah dan kondisi secara historis, serta gejala penurunan status untuk industri yang sebelumnya didominasi oleh laki-laki.[9]

Oleh karena itu, dalam menganalisis akar penindasan perempuan tidak cukup hanya dengan menggunakan teori patriarkis, melainkan juga harus menempatkannya pada konteks hubungan sosial terhadap corak produksi yang ada.


 

 

Referensi

Aruzza, C., T. Bhattacharya, dan N. Fraser. 2019. Feminism for 99%: A Manifesto. London: Verso.

Engels, F. 2004. The Origin of the Family, Private Property, and the State. NSW: Resistance Books.

Harman, C. 1994. “Engels and the Origin of Human Society.” International Socialism, 2(65).

Hugo, Fransiskus. 2014. Materialisme Historis, Gender, dan Evolusi Keluarga. indoprogress.com. 15 Agustus 2014.

Knight, C. 1991. Blood Relations: Menstruation and the Origin of Culture. New Haven: Yale University Press.

Marx, K., & Engels, F. 1970. The German Ideology (Vol. 1). New York: International Publishers.

O’shea, L. 2014. “Marxism and Women’s Liberation.” Marxist Left Review, 7 (Summer).

Smith, S. 2003. Mistaken Identity: Can Identitiy Politics Liberate the Oppressed? USA: International Socialist Organization.

Sudiono, L., Dede Mulyanto, dan Stanley Khu, dkk. 2020. Friedrich Engels Pemikiran dan Kritik. Bandung: Ultimus.


[1] Smith, 2003.

[2] Marx dan Engels, 1970.

[3] Harman, 1994

[4] Fransiskus Hugo, Materialisme Historis, Gender, dan Evolusi Keluarga. https://indoprogress.com/2014/08/materialisme-historis-gender-dan-evolusi-keluarga/ (diakses pada 29 Agustus 2022, pukul 21.47)

[5] Chris Knight, Blood Relations (New Haven: Yale University Press), 1991, hlm, 23.

[6] Engels, 2011 :38.

[7] Engels, 2004: 66.

[8] Aruzza, dkk., 2019.

[9] Oshea, 2014.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar